“Mothers have martyred themselves in their children’s names since the beginning of time. We have lived as if she who disappears the most, loves the most. We have been conditioned to prove our love by slowly ceasing to exist.
What a terrible burden for children to bear—to know that they are the reason their mother stopped living. What a terrible burden for our daughters to bear—to know that if they choose to become mothers, this will be their fate, too. Because if we show them that being a martyr is the highest form of love, that is what they will become. They will feel obligated to love as well as their mothers loved, after all. They will believe they have permission to live only as fully as their mothers allowed themselves to live.
If we keep passing down the legacy of martyrdom to our daughters, with whom does it end? Which woman ever gets to live? And when does the death sentence begin? At the wedding altar? In the delivery room? Whose delivery room—our children’s or our own? When we call martyrdom love we teach our children that when love begins, life ends. This is why Jung suggested: There is no greater burden on a child than the unlived life of a parent.”
― Glennon Doyle, Untamed
Para ibu telah memilih mengorbankan diri sendiri demi anak-anak mereka sejak awal waktu. Kita telah hidup dalam budaya, dimana perempuan yang paling "mengorbankan diri sendiri" adalah dia yang paling mencintai. Kita sudah dikondisikan untuk membuktikan cinta kita dengan cara perlahan-lahan menghilangkan keberadaan kita.
Sungguh beban yang teramat berat bagi anak-anak - saat mereka mengetahui bahwa mereka adalah alasan yang membuat Ibu mereka berhenti hidup. Sungguh beban yang teramat berat bagi anak perempuan kita - saat mereka mengetahui, bahwa jika mereka memilih menjadi ibu, seperti itulah juga nasib mereka. Karena jika kita menunjukkan bahwa mati martir adalah bentuk tertinggi dari cinta, begitulah mereka akan menjadi. Mereka akan merasa mereka harus mencintai sebagaimana cara ibu mereka mencintai. Mereka akan meyakini bahwa mereka diizinkan hidup hanya sejauh ibu mereka diizinkan hidup.
Jika kita meneruskan warisan mati martir kepada anak-anak perempuan kita, lalu siapa yang akan mengakhirinya? Perempuan mana yang akan bebas menjalani hidupnya? Dan kapan hukuman mati ini dimulai? Pada altar pernikahan? Pada Ruang bersalin? Persalinan kita atau anak kita? Ketika kita menyebut mati martir adalah cinta, kita mengajarkan anak-anak kita bahwa pada saat cinta dimulai, maka hidup akan berakhir. Inilah sebabnya (Carl) Jung menyatakan: "Tidak ada beban yang lebih besar atas seorang anak daripada orangtua yang sudah mati saat dia masih hidup".
Glennon Doyle - Untamed