
Ada satu masa dimana saya merasa begitu tak berdaya, seperti pada saat saya belum bisa memasak apapun selain Indomi telur dan masak nasi di rice cooker. Pada saat itu, memasak adalah kegiatan yang terasa begitu horor karena sepertinya di seluruh muka bumi, sayalah satu-satunya anak gadis yang tak pandai memasak.
Saya tidak akan menyalahkan siapa-siapa, meskipun ketidak-pandaian saya memasak kemungkinan besar disebabkan oleh perilaku ibu saya yang merasa saya balita abadi ( note. Ibu saya baik sekali, sangat supportif, dan dia merasa saya tidak pernah dewasa – Clear ya, I love her, I just can’t understand her sometimes). Dulu, setiap kali saya interest with her cookings dan masuk ke dapur, secara otomatis, lebih cepat dari desing senapan angin, ibu saya akan berteriak: Ha!! ngapain kesini?! cucikan dulu panci-panci itu! udah jadi kau bersihkan jendela?! Kamar kau itu rapikan kenapa?! Segala hardikan itu tentu membuat saya m.a.l.a.s mendekat ke dapur, dan semakin mendekati umur dewasa muda, saya semakin jauh dari dapur.
Lalu tiba waktunya saya harus masuk dapur. Panik sudah jelas, tetapi beruntung saya termasuk yang tidak mudah menyerah, sambal hambar, udang kering kerontang, sayur hancur lebur semua sudah saya lewati. Sekarang saya sudah bisa memasak, masih di kategori kelas ecek ecek memang, kelas kaleng kaleng kalo kata orang Medan, tetapi sudah bisa.
Dan saya menemukan bahwa dunia memasak adalah dunia ajaib yang sarat philosopical value. Memasak tidak boleh terburu-buru, karena masakan bisa kurang matang, memasak juga harus fokus, karena saat memasak kita harus melakukan banyak hal sekaligus dalam waktu bersamaan. Sambil menggoreng ikan, mengupas bawang, memasak santan, minum teh dan memantau perkembangan dunia facebook.
Setiap bumbu juga memiliki peran masing masing yang tak bisa diabaikan begitu saja hanya karena bentuknya buruk dan warnanya tidak menarik. Contohnya asam sunti, ini adalah belimbing sayur/wuluh yang dikeringkan, biasa saya pakai waktu bikin gulai aceh atau bikin ikan asam pedas… Kalo asam ini tidak ada, diganti dengan asam yang berbeda, maka hasil akhirnya akan jauh berbeda.
Semua bumbu dan alat masak memiliki arti, just like our kindness, no matter how small and seems unimportant will made our world so much better. It’s okey when everyone seems ignoring our kindness, just keep on being kind and be patient, semua akan masak pada waktunya.
Cheers, Ririnkoko