Resensi ‘Sirkus Pohon’ _ Andrea Hirata

A Private collection of ririnkoko.home.blog

Saya lupa kapan saya membeli buku ini, sudah setahun lewat buku ini terbungkus plastik di rak buku, tidak pernah sempat dibaca karena begitu banyak kisah dan peristiwa hidup yang terjadi beberapa waktu belakangan ini. Saya selalu suka tulisan-tulisan Andrea Hirata, terasa dekat, terasa akrab, barangkali karena saya juga besar di kampung kecil di tepian nangroe aceh darussalam, mungkin karena saya suka cerita bertema budaya, mungkin karena saya pernah ingin jadi penulis fiksi terkenal seperti dia, mungkin karena cerita cerita yang ditulis andrea hirata selalu membuat saya tertawa dan menangis bersamaan, karena itu, saat kemarin waktu senggang menyapa, saya putuskan untuk membaca buku ini hingga selesai. 

Buku Sirkus Pohon menurut saya adalah perayaan dari segala yang yang biasa dalam hidup. Merayakan kehidupan sehari hari orang biasa-biasa di kampung kecil yang juga biasa, merayakan persoalan-persoalan yang terjadi dalam rumah tangga orang biasa, mengingatkan bahwa segala yang biasa adalah berkat yang luar biasa dari yang Maha Agung.

Tokohnya ramai, tetapi beberapa kali bab cerita dibuka dengan cerita dari sudut pandang pertama seseorang yang dipanggil Hobri, lelaki biasa, tidak tamat SMP, anak ke 4 dari 5 bersaudara, dan satu satunya yang anak yang menyandang gelar “tidak beres” dalam keluarganya. Dengan ijazah SD tentu sulit mendapat pekerjaan tetap, definisi dari pekerjaan tetap disini adlah pekerjaan yang punya jam kerja tetap, masuk jam 7 pagi, pulang jam 5, ada uang THR, ada uang dinas kalo pergi keluar kota, pergi kerja dengan mengenakan kemeja lengan panjang, bajunya dimasukkan ke dalam, pake sepatu pantofel, dan di kantong ada tersemat pulpen, sangat kantoran dan sangat tetap. Melalui koneksi jauh, Hobri akhirnya mendapat pekerjaan tetap sebagai Badut Sirkus, baju seragamnya berbeda, tetapi itu adalah pekerjaan tetap dan Hobri sangat bahagia bergabung di keluarga sirkus yang sangat luar biasa dan misterius. Hobri jatuh cinta pada Dinda dan demikian sebaliknya, mereka berjanji akan saling setia dan memutuskan menikah. Tetapi seminggu sebelum pernikahan dengan dinda, angin selatan membuat ulah, pohon delima menjadi tersangka, dan sirkus harus bubar dengan terpaksa. 

Tokoh lain adalah Tara dan Tegar yang pertama kali berjumpa di taman bermain Pengadilan Agama diumur 8 tahun, masing masing mengantarkan orang tua yang sudah memutuskan untuk bercerai. Pengadilan agama di kota kecil itu sepertinya sangat memperhatikan kesehatan psikis dari anak anak yang harus ikut dalam proses perceraian orang tuanya, taman bermain itu memang di buat sebagai tempat untuk anak anak menunggu sidang selesai, menunggu orang tua yang akhirnya memutuskan berjalan sendiri sendiri karena berbagai-bagai alasan. Tara dan Tegar ingin bertemu lagi, tetapi karena terjadi selisih paham antara kenanga dan vanili, antara lukisan abstrak dan lukisan diri, maka pertemuan mereka harus tertunda lagi dan lagi. 

Saya menyelesaikan buku 380 an halaman ini selama 4 jam, di selingi angkat jemuran dan menghangatkan nasi untuk makan malam. Sepanjang membaca buku saya menangis, tertawa, menangis, tertawa lagi dan setelah selesai membaca wajah saya sembab dan bahagia, kisah kisah yang ada di buku sangat mengharu biru dan manis, dan saya bahagia karena ini pertama kali membaca buku untuk santai setelah setahun lebih saya membaca karena HARUS; pertama kali membaca buku untuk menyegarkan senar senar jiwa yang sudah sumbang karena lama tak tersentuh fiksi memukau.  

Buku ini sangat di rekomendasikan untuk kamu yang lagi menunggu… menunggu apa saja, menunggu kekasih pertama saat usia sudah 41, menunggu pasangan sejati setelah gagal berumah tangga 3 kali, menunggu perubahan nasib, menunggu sidang perceraian selesai, menunggu sidang harta gono gini selesai, menunggu restu calon mertua, menunggu tanda tangan dosen pembimbing, menunggu panggilan pekerjaan, menunggu anak dari sang Maha Pengasih, menunggu kesembuhan… bagi anda sekalian.. tunggulah segala sesuatunya dalam kesabaran karena cinta selalu berpihak pada mereka yang menunggu.

Cheers

One thought on “Resensi ‘Sirkus Pohon’ _ Andrea Hirata

  1. Pingback: meditasi | Bella Vita

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s