Apa yang Salah dengan Salah Jurusan?

Setiap tahun, menjelang musim ujian masuk perguruan tinggi, ribuan siswa SMA berlarian dari satu bimbingan belajar ke bimbel lain—yang biayanya makin tak masuk akal—demi satu tujuan: masuk jurusan favorit di kampus favorit. Tapi jarang ada yang berhenti untuk bertanya: favoritnya siapa, sebenarnya?

Jurusan favorit sering bukan lahir dari hati si anak, melainkan dari konstruksi sosial yang diwariskan turun-temurun: kedokteran untuk anak pintar, teknik untuk anak laki-laki, hukum untuk yang dianggap kritis. Pilihan itu lebih mirip beban daripada panggilan. Kita terlalu sering lupa bertanya: apa yang sebenarnya ingin kamu pelajari untuk bekal hidupmu nanti?

Dari sinilah lahir istilah “salah jurusan”—seperti vonis hidup. Sebuah label yang seolah berkata: kamu salah pilih, dan karena itu masa depanmu suram. Padahal menurut saya, itu keliru. Bahkan, agak absurd.

Konsep “salah jurusan” tumbuh subur dalam sistem pendidikan yang berwajah industri. Kuliah tidak lagi dipandang sebagai proses membentuk manusia berpikir, tapi sebagai ajang mempersiapkan pekerja yang kompetitif. Jurusan dan kampus dikemas seperti merek dagang, lalu dijual lewat paket bimbel premium yang menjanjikan masa depan cerah. Itu bukan nasihat. Itu tagline pemasaran.

Sayangnya, banyak keluarga ikut terjebak. Orang tua rela menguras tabungan demi “masa depan anak”, siswa stres mengejar standar yang makin tidak manusiawi, guru ikut mendorong demi reputasi sekolah. Semua terperangkap dalam mesin kompetisi, sampai lupa bertanya ulang: apakah ini benar-benar tentang pendidikan?

Tidak Ada Ilmu yang Sia-Sia

Mengatakan seseorang “salah jurusan” itu seperti mengatakan seseorang “salah belajar.” Padahal, tidak ada ilmu yang sia-sia. Ilmu bisa menjadi pijakan, jembatan, bahkan penyelamat—meski jalurnya tidak selalu lurus.

Banyak orang justru menemukan jalannya lewat persimpangan tak terduga. Kita berubah, bertumbuh, berevolusi. Dan itu wajar. Jurusan bukan takdir. Ia hanya salah satu jalan, bukan satu-satunya.

Lagipula, kita tahu betul realitanya: ada sarjana yang akhirnya jadi barista, driver, penjual online, atau pekerja lepas. Bukan karena mereka gagal, tapi karena ijazah tak lagi jadi jaminan, dan dunia kerja tidak selalu sejalan dengan dunia kampus. Sistem pendidikan kita belum sepenuhnya menyentuh realita.

Prestise yang Mengaburkan Tujuan

Masalahnya bukan pada anak-anak muda yang belum tahu mau jadi apa. Masalahnya adalah ekspektasi sosial yang terlalu berat: orang tua ingin anaknya masuk jurusan yang “membanggakan”, sekolah mengejar jalur SNBP, dan bimbel menjual mimpi bahwa jurusan A pasti akan membuatmu mapan.

Kita telah lama menukar rasa ingin tahu dengan prestise, dan proses belajar dengan ambisi posisi. Padahal, pendidikan seharusnya jadi ruang untuk tumbuh, bukan alat ukur kesuksesan finansial.

Pendidikan, Bukan Pabrik Karier

Saya tidak sedang menyalahkan orang tua yang khawatir akan masa depan anaknya. Kekhawatiran itu manusiawi. Tapi mungkin kita perlu berhenti menganggap pendidikan sebagai pabrik pencetak pekerja karier. Dunia berubah terlalu cepat untuk mengandalkan satu jurusan di usia 17 tahun sebagai penentu masa depan.

Daripada mendorong anak untuk mengejar jurusan “favorit” versi masyarakat, kenapa tidak kita dorong mereka untuk mengejar rasa ingin tahu, ketulusan belajar, dan keberanian berpikir kritis? Bukankah itu yang justru dibutuhkan dunia saat ini?

Yang Lebih Penting dari Pintar: Menjadi Orang Baik

Klise, mungkin. Tapi saya sungguh berharap generasi muda kita tidak hanya tumbuh menjadi “anak pintar dari jurusan unggulan”, tapi juga menjadi manusia yang baik—yang peduli, yang mau mendengar, dan yang bisa menjadi bagian dari solusi.

Dunia tidak kekurangan orang cerdas. Tapi ia sangat membutuhkan lebih banyak orang yang tulus, berempati, dan bertanggung jawab. Dan percaya atau tidak, ilmu apa pun bisa berguna—asal digunakan untuk membantu, bukan hanya menaikkan status sosial.

Pendidikan untuk Apa?

Daripada sibuk menakut-nakuti anak-anak muda dengan istilah “salah jurusan”, mungkin kita semua—orang tua, guru, dan masyarakat—perlu bertanya ulang: *apa sebenarnya tujuan kita menyekolahkan anak-anak kita?*

Kalau jawabannya hanya agar mereka punya pekerjaan tetap dan gaji besar, mungkin kita sudah melupakan makna pendidikan itu sendiri.

Ketakutan akan “salah jurusan” adalah strategi pemasaran yang sangat berhasil. Dan kita semua, sadar atau tidak, pernah menjadi konsumennya.

Padahal, pendidikan seharusnya bukan komoditas. Ia adalah hak. Ia adalah proses pembebasan. Dan lebih dari segalanya—ia adalah perjalanan menjadi manusia seutuhnya.

Sudah saatnya kita ubah cara pandang.
Jurusan bukan nasib. Kampus bukan kasta. Dan ilmu bukan alat untuk naik kelas, melainkan bekal untuk membantu, memahami, dan memperbaiki dunia.
Bukan menjadikan anak paling unggul, tapi membantu mereka tumbuh menjadi pribadi yang utuh—apa pun jurusannya.

Seftirina Sinambela, M.Hum.

Leave a comment